Berikut ini adalah deretan peristiwa kebakaran yang menimpa Kota Samarinda selama bulan Januari 2013.
2/1
21 rumah luluh lantak jadi arang di Jl. Dr. Soetomo Gang 2 RT 30 Kel. Sidodadi Kec. Samarinda Ulu sekitar pukul 04.15 Wita.
4/1
Sebuah rumah di Jalan Untung Suropati, Kompleks Griya Tepian Lestari, Blok UU-11 RT 20 Kel. Karang Asam Ulu hangus terbakar sekitar pukul 10.45 WITA.
6/1
Sebuah rumah di Jl. Jakarta Blok BG No. 23 Kel. Loa Bakung Kec. Sungai Kunjang hangus terbakar sekitar pukul 10.00 WITA.
Kamis, 31 Januari 2013
Minggu, 20 Januari 2013
Etnis Pembentuk Heterogenitas Demografi Samarinda: Bugis
Boleh dikatakan, kedatangan suku Bugis menjadi titik awal berdirinya Kota Samarinda karena pemukiman pertama di Samarinda yang dibuka secara komersial berada di Samarinda Seberang, tepatnya di kelurahan Baqa dan Mesjid saat ini.
Samarinda yang dikenal sebagai kota seperti saat ini dulunya adalah salah satu wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Di wilayah tersebut belum ada sebuah desa pun berdiri, apalagi kota. Sampai pertengahan abad ke-17, wilayah Samarinda merupakan lahan persawahan dan perladangan beberapa penduduk. Lahan persawahan dan perladangan itu umumnya dipusatkan di sepanjang tepi Sungai Karang Mumus dan sungai Karang Asam.
Pada tahun 1668, rombongan orang-orang Bugis Wajo yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado) hijrah dari tanah Kesultanan Gowa ke Kesultanan Kutai. Mereka hijrah ke luar pulau hingga ke Kesultanan Kutai karena mereka tidak mau tunduk dan patuh terhadap Perjanjian Bongaya setelah Kesultanan Gowa kalah akibat diserang oleh pasukan Belanda. Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.
Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha pertanian, perikanan dan perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama di dalam menghadapi musuh. Semua rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah Selili seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan di dalam pelayaran karena daerah yang berarus putar (berulak) dengan banyak kotoran sungai. Selain itu dengan latar belakang gunung-gunung (Gunung Selili).
Etnis Pembentuk Heterogenitas Demografi Samarinda: Jawa
Suku Jawa sudah mulai bermukim di wilayah Samarinda sejak tahun 1910-an karena dibawa oleh penjajah Belanda untuk dijadikan pekerja pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan oleh Belanda. Pada tahun 1917, diadakan musyawarah antara Masbe Mangun Wirono selaku sesepuh dan pendiri, dengan pihak kontroler Hindia Belanda, membicarakan seputar masalah keadaan cadangan pertanian. Musyawarah dimaksudkan untuk membuka ladang pertanian yang dikhususkan bagi suku Jawa. Oleh Belanda saat itu, akhirnya disepakati, sehingga menyebarlah sejumlah penduduk dengan mayoritas dari suku Jawa, dan sebagian kecil suku Bugis, di daerah yang kemudian disebut Kampung Jawa.
Sejak berdirinya, perkampungan Jawa berada di bawah kuasa wilayah kepala kampung Teluk Lerong, maka para pemuda dan masyarakat Kampung Jawa mengadakan musyawarah dengan tujuan akan memohon kepada kontroler Hindia Belanda, agar perkampungan Jawa dapat berdiri sendiri, dan memiliki kepala kampung sendiri. Pada tahun itu pula disetujui oleh kontroler Hindia Belanda. Maka diadakan pemilihan kepala kampung, dan terpilih Naiman sebagai Kepala Kampung Jawa pertama.
Etnis Pembentuk Heterogenitas Demografi Samarinda: Banjar
Warga etnis Banjar di Rapak Dalam sedang berkumpul dalam suatu acara. (fpks) |
Budaya Banjar di Samarinda sangat melekat kuat sehingga menciptakan istilah "Banjar Samarinda" dalam hal kesukuan mau pun bahasa. Khusus untuk bahasa, Bahasa Banjar Samarinda digunakan lazim baik oleh Urang Banjar mau pun non-Banjar sebagai bahasa pergaulan. Bahasa Banjar Samarinda kini sudah dituliskan dalam artikel humor terbitan Samarinda Pos bertajuk "Bujur-Bujur" yang selalu mengisi halaman depan dan sambungan setiap harinya.
Etnis Pembentuk Heterogenitas Demografi Samarinda: Dayak
Tarian oleh Suku Dayak. (fpks) |
Sekitar tahun 1960-an, Suku Dayak Apokayan dan Kenyah yang saat itu berdomisili di wilayah Kutai Barat dan Malinau, hijrah lantaran tak mau bergabung atau tak ingin ikut ke wilayah Malaysia dengan motif dan harapan taraf pendapatan atau ekonomi yang menjanjikan. Rasa nasionalisme mereka inilah yang membuat mereka memilih tetap bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Etnis Pembentuk Heterogenitas Demografi Samarinda: Kutai
Kutai sebagai penduduk asli kawasan aliran Sungai Mahakam yang kebanyakan mendiami kawasan hilir menjadi etnis atau suku bangsa pembentuk keragaman demografi Samarinda. Suku Kutai pernah bernaung dalam kekuasaan sebuah negara bernama Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Bahasa yang digunakan oleh Suku Kutai di Samarinda adalah bahasa Kutai Hilir (Tenggarong dan sekitarnya) dan Kutai Hulu (Kota Bangun dan sekitarnya).
Pada awalnya Kutai merupakan nama suatu teritori tempat bermukimnya masyarakat asli Kalimantan atau Dayak. Suku Kutai berdasarkan jenisnya adalah termasuk suku Melayu Tua sebagaimana Suku Dayak di Kalimantan Timur. Oleh karena itu secara fisik Suku Kutai mirip dengan Suku Dayak rumpun Ot Danum. Hubungan Kekerabatan Suku Kutai dengan Suku Dayak diceritakan juga dalam tradisi lisan Suku Dayak dengan berbagai versi di beberapa subsuku rumpun Ot Danum (karena masing - masing subsuku memiliki sejarah tersendiri). Adat-istiadat lama Suku Kutai banyak kesamaan dengan adat-istiadat Suku Dayak rumpun Ot Danum (khususnya Tunjung-Benuaq) misalnya; Erau (upacara adat yang paling meriah), belian (upacara tarian penyembuhan penyakit), memang, dan mantra-mantra serta ilmu gaib seperti; parang maya, panah terong, polong, racun gangsa, perakut, peloros, dan lain-lain. Dimana adat-adat tersebut dimiliki oleh Suku Kutai dan Suku Dayak.
Etnis Pembentuk Heterogenitas Demografi Samarinda
Samarinda sebagai sebuah kota sekaligus ibu kota provinsi Kalimantan Timur tidak hanya dibentuk dari segi infrastruktur, melainkan juga dari segi demografi atau kependudukan. Kini, penduduk Samarinda sudah menembus satu juta jiwa dan merupakan kota dengan jumlah penduduk terbanyak se-Borneo/Kalimantan. Dalam menyambut hari jadi Kota Samarinda ke-345, kami akan menyajikan beberapa artikel secara beruntun mengenai etnis atau suku bangsa yang menjadi pembentuk heterogenitas (keberagaman) demografi Kota Samarinda. Setidaknya ada 5 etnis (yang berhasil dihimpun) yang menjadi pembentuk heterogenitas tersebut, yakni Kutai, Dayak, Banjar, Jawa, dan Bugis.
Akhir kata, selamat membaca!
Kamis, 17 Januari 2013
Kebakaran Samarinda: Harapan Baru
Kebakaran kembali melanda Kota Tepian. Kali ini api menggegerkan kawasan Jl. Cipto Mangunkusumo Gang 2 RT 2 Harapan Baru, Loa Janan Ilir pada Kamis (17/1) pagi sekitar pukul 10.20 WITA dan menghanguskan 4 rumah. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini. (fpks)
Kamis, 03 Januari 2013
RS Internasional Akan Dibangun di Samarinda
Langganan:
Postingan (Atom)